Rendah hati, rapi, dan hidup sederhana merupakan kombinasi indah dalam hidup. Tiga kemulian akhlak, uraiannya sebagai berikut. Pertama, kerendahan hati mengajarkan bahwa kepada setiap orang dengan gelar, kedudukan, jabatan, dan status sosialnya, untuk tetap hormat penuh identitas kepada orang lain.
Pakaian dan hiasan luar hanyalah ornamen. Sikap dan kebersihan hatilah yang menjadi ukuran. Rendah hati yang paling utama adalah saat kita berada di atas sebagai seorang yang berilmu, hartawan, maupun pejabat.
Terangkatnya derajat seorang hamba bukan karena menyebar foto, memajangnya di sudut kota dan jalan, bukan pula sebab memangggil wartawan, menyewa stasiun televisi guna melakukan peliputan, sehingga khalayak mengenal sosoknya. Kedudukan di sisi Allah hanya bisa didaki dengan tangga ke-tawadhu`-an.
Rasulullah SAW pernah mendapat tawaran dari Allah. Yaitu menjadi seorang hamba sekaligus rasul atau menjadi seorang raja dengan kekuasaan penuh. Rasul mengajak Malaikat Jibril bermusyawarah perihal tawaran tersebut. Jibril berkata, “Bersikap rendah hatilah kepada Tuhanmu.”
Rasul menjawab tawaran Allah, “Aku ingin jadi hamba dan rasul.” (HR. Ibnu Hibban).
Sikap rendah hati bisa kita peroleh juga dari Nabi Sulaiman. Beliau saban harinya mencari orang miskin untuk diajak makan bersama, padahal posisi beliau adalah Nabi dan raja dengan kekuasan yang membentang luas tapi tidak menghalanginya dekat dengan umat/ rakyatnya.
Demikian pula Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau membeli kebutuhan keluarga di pasar seorang diri tanpa meminta bantuan orang lain. Tanpa merasa kikuk dan risih, beliau membawa kurma dan garam yang dibelinya. Saat ada orang yang mau membantunya, beliau berkata: “Kemuliaan tidak akan berkurang sedikitpun dengan membawa kebutuhan bagi keluarganya.”
Putra Imam Ali, Hasan bin Ali mengikuti jejak sikap sang ayah. Beliau berjalan-jalan dengan naik onta. Kemudian di tengah jalan ditawari oleh kaum fakir-miskin untuk makan bersama. Padahal mereka hanya sekadar basa-basi. Tapi Hasan turun dari kendaraanya dan turut serta makan bersama mereka. Setelah itu, Hasan mengundang mereka di keesokan hari untuk dijamu oleh beliau. Demikianlah cuplikan episode kerendahan hati Nabi Muhammad, Nabi Sulaiaman, Imam Ali, dan putranya Hasan bin Ali.
Kedua, bersikap rapi dalam kemelaratan. Petunjuk Imam Abdullah Al-Haddad yang kedua ini menegaskan kepada kita agar tidak menunjukkan kemelaratan dan kesedihan kepada orang lain. Harga diri harus tetap dijaga. Citra sebagai seorang Muslim yang kuat mesti dipertahankan. Meskipun hidup dalam himpitan ekonomi.
Ahlus Suffah, yaitu golongan sahabat nabi yang berjumlah kurang lebih 400 jiwa dipuji oleh Allah berkat kesabaran dan keajegan dalam menjaga kehormatan dari mengemis. “Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang mukmin-miskin yang menjaga kehormatannya.” HR. Thabrani.
Ketiga, hemat saat hidup berkecukupan. Menggunakan harta serta pengeluaran sesuai sasaran dan kebutuhan adalah inti nasihat ketiga ini. Ia sisakan hartanya untuk anak-anak yatim-piatu, para janda, dan orang-orang yang membutuhkan lainnya.
Sikap hemat dicapai dengan kesederhanaan hidup yang tujuannya ialah bersyukur kepada Allah. Kaya-miskin dihadapi dengan bijak dan penuh hikmah. Tidak berarti bahwa kemiskinan dibiarkan dengan nestapanya dan si kaya bebas berbuat sekena hatinya, kikir berbagi dengan sesama.
Dalam Al-Quran Allah menyindir manusia yang kikir, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Qs. Al-Isra`: 29)
0 komentar:
Posting Komentar