Senin, 06 Desember 2010

Tahlilan

Pada hakikatnya Majelis Tahlil atau Tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Tahlilan yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain. Maka sangat jelas bahwa Majelis Tahlil sama dengan Majelis Dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama.

Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara Tahlilan atau Dzikir dan Berdo’a bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendo’akan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit?

Menghadiahkan Fatihah, Yaasiin, Dzikir, Tahlil, Shadaqah, atau Qadha puasa dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit. Dengan Nash (sumber) yg jelas dalam Shahih Muslim. hadits no.1149, bahwa “Seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yg telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasulullah SAW”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “Seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yg telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).

Perihal pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh Madzhab dan tak ada yg memungkirinya apalagi mengharamkannya. Perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan” atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai. Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yg menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : "Dan tiadalah bagi seseorang kecuali apa yang diperbuatnya, maka Ibn Abbas ra. menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh (hukumnya terhapus) dengan ayat “Dan orang-orang Dan orang-orang yang beriman yang diikuti ketururan mereka dengan keimanan”.
Mengenai hadits yg mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), Shadaqah Jariyah, Ilmu yg bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yg mengirim amal, dzikir dan lain-lain untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yg dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur'an untuk mendoakan orang yg telah wafat : "Wahai Tuhan kami ampunilah dosa-dosa kami dan bagi saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam keimanan ", (QS Al Hasyr-10).

            Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yg melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yg sudah diperbolehkan oleh Rasulullah SAW. Justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah? Siapa yg alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya? Siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah? muslimkah? Semoga Allah SWT memberi hidayah pada muslimin. Tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.

            Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan komputer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul SAW meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 Muharram, (Mhahih Bukhari) bahwa Rasul SAW menemukan orang yahudi puasa dihari 10 Muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul SAW bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau SAW memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).

Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah pun sempat diprotes oleh umat Islam di Madinah: “Ya Rasulallah, hari itu (’Asyura) diagungkan oleh orang Yahudi.” Maksudnya, kenapa umat Islam mengerjakan sesuatu persis seperti yang dilakukan oleh umat Yahudi? Beliau lalu bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.” Setelah itu, tidak hanya disunnahkan puasa pada tanggal 10 tapi juga tanggal 9 Muharram. Sayang, sebelum datang tahun berikutnya Rasulullah telah wafat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 dimaksudkan agar tidak persis seperti yang dilakukan oleh umat pada masa Nabi sebelumya, yakni Yahudi dan Nashrani. (Fathul Bari 4: 245)

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasulullah saw :

  •  Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “Aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah SAW”.
  • Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “Aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7 kali haji yg pahalanya untuk Rasulullah SAW dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah SAW  dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah SAW, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah SAW. Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu masalah yg dijawab oleh Imam Malik. Beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313 H
  • Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7 kali untuk rasulullah SAW dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah SAW. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
        Source : Al Habib Munzir Bin Fuad Almusawa ( Majelis Rasulullah SAW )

0 komentar:

Posting Komentar